Nasib Jupernalis Samosir
Uparlin Maharadja (dok/Tempo)
Tidak selamanya profesi wartawan yang selalu berusaha menyuarakan perbaikan nasib orang lain.
“Apa kabar lae.... Baik-baik aja.. Sudah ngopi belum?” Begitu cara almarhum Jupernalis Samosir (46) menyapa, wartawan yang selama 15 tahun bekeja di Tempo, saat ngopi bareng bersama Koresponden Sinar Harapan di Kedai Kopi Hang Tuah, Pekanbaru, dua pekan sebelum ajal menjemput, Minggu (9/6).
Setelah itu, ia tak banyak bicara. Hanya sesekali menanyakan perkembangan kasus PON XVIII. Raut wajah dan kondisi kesehatannya sudah kritis. Namun, Jupernalis Samosir tetap tegar. Ia makin kurus, penyakitanya sudah lama bersarang di badannya. Ada penyakit diabetes, paru-paru, dan lambung.
Namun, kebiasaan untuk minum kopi dan merokok tak bisa lepas dari mulutnya. Ini untuk menghilangkan rasa frustrasi karena penyakit tak kunjung sembuh. “Upaya berobat ke mana-mana, sudah sering kali lae. Tak terhitung berapa rumah sakit. Pengobatan tradisional sampai Malaysia,” kata Jupe.
Dalam percakapan yang tak lama di Kedai itu, Jupernalis seakan memberi pesan tak lama lagi dia akan pergi untuk selamanya. “Teruskan lae, aku tak lagi bisa berbuat, tapi jaga kesehatan. Itu yang penting,” katanya. Air matanya meleleh di pipi.
Namun siapa sangka, kepergiannya meninggalkan kisah luka mendalam bagi kehidupannya. “Sejak ia berupaya menyembuhkan penyakit komplikasi yang ia derita, ternyata tak ada perhatian tempat ia bernaung,” ujar rekannya yang seprofesi, Syahnan Rangkuti. Syahnan pun mengirim surat terbuka ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Selama dua tahun terakhir, Samosir berulangkali masuk rumah sakit. Biasanya setelah sembuh, dia hanya akan bertahan sebentar karena tidak lama kemudian dia akan kembali masuk rumah sakit untuk dirawat. Sabtu, 1 Juni 2013, Samosir dibawa ke RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru dalam keadaan tak sadarkan diri. Sayangnya, dia tidak langsung mendapat perawatan intensif karena seluruh ruangan ICU (enam ruangan) di rumah sakit rujukan di Provinsi Riau itu penuh.
Samosir tidak meraung-raung karena sakit. Tubuhnya memang tidak dapat lagi merespons rasa sakit. Rasa sakit melewati ambangnya yang tertinggi. Matanya senantiasa tertutup. Hanya tangannya yang kadang dapat menekan pelan tatkala istrinya yang setia menemani, memegang tangannya.
Setelah tujuh hari di ruang observasi seadanya itu, Samosir berhasil dipindah ke ruang ICU pada Jumat (7/6) karena salah seorang pasien keluar. Sayangnya, pertolongan intensif itu sudah terlambat. Ia pun meninggal dua hari kemudian.
Banyak pihak sedih dengan kepergiannya, terutama yang seprofesi dengannya. Hingga meninggal, Jupe jadi koreponden kontrak, tidak mendapat asuransi kesehatan. Ketika masuk ke RSUD Arifin Ahmad, keluarga Samosir menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jupe memang warga masyarakat biasa. Namun, kondisinya tak sebanding dengan profesinya. Tidak lebih layak dari pekerja pabrik sandal jepit.
Banyak pihak sedih dengan kepergiannya, terutama yang seprofesi dengannya. Hingga meninggal, Jupe jadi koreponden kontrak, tidak mendapat asuransi kesehatan. Ketika masuk ke RSUD Arifin Ahmad, keluarga Samosir menggunakan fasilitas Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Jupe memang warga masyarakat biasa. Namun, kondisinya tak sebanding dengan profesinya. Tidak lebih layak dari pekerja pabrik sandal jepit.
Ia memang hanya salah satu contoh dari sekian banyak orang dalam profesi yang sama atau berbeda yang kurang mendapat perlindungan dari lembaganya bekerja.
Di satu sisi, media meneriakkan nasib orang lain agar lebih baik. Namun di sisi lain, pekerja media atau perusahaan media massa lupa dengan nasib karyawannya sendiri. Semoga ke depan tak ada lagi nasib malang wartawan seperti Jupernalis Samosir. Selamat jalan Lae Jupe.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar