Ini Dia Cerita Miring:
Bantuan 1000 Kapal Motor 30 GT Inka Mina SBY
Bantuan 1000 Kapal Motor 30 GT Inka Mina SBY
Jakarta-"kaba.ajiinews"
Pelaksanaan program bantuan 1.000 kapal berukuran di atas 30 gross ton oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan bermasalah. Banyak kapal dibuat tidak berdasarkan spesifikasi dan alokasi harga kapal. Diduga ada mark-up dalam pelaksanaan proyek itu di berbagai daerah yang berpotensi merugikan negara.
Harapan membuncah di dada Dahli Sirait begitu kelompok nelayan yang dipimpinnya, Forum Komunikasi Nelayan Indonesia, menerima bantuan kapal Inka Mina 64. Secara fisik, kapal penangkap ikan berbobot 30 gross ton (GT) itu tampak cantik dan kokoh.
"Benar, seperti kapal baru keluar dari galangan," ujar pria berusia 36 tahun itu.Dengan kapal berbobot sebesar itu, ia berharap dapat bersaing dengan kapal nelayan asing saat melaut.
Bagi para nelayan di Tanjung Balai (juga di seluruh perairan Indonesia), kapal-kapal asing merupakan momok yang menakutkan. Maklum, dengan bobot kapal yang rata-rata di atas 10 GT (bahkan ada yang mencapai 1.000 GT), kapal-kapal asing itu jelas bukan saingan kapal nelayan lokal, yang bobotnya paling banter 6-8 GT.
"Apo lagi maunyo dikato? Saat menjaring ikan di perairan Indonesia saja sudah kalah bersaing dengan kapal nelayan asing. Kalau kapal kita 35-45 GT, bisa awak bilang lawanlah kapal nelayan asing tuh," kata Ahmad, rekan Dahli.
Wajar jika para nelayan antusias ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2010 meluncurkan program bantuan 1.000 kapal berbobot di atas 30 GT untuk para nelayan. Program yang beken dengan nama Inka Mina itu (diambil dari nama kapal yang dibuat) menyedot dana APBN Rp 1,5 trilyun. Program ini rencananya terealisasi seluruhnya pada 2014.
Untuk setiap kapal, negara menganggarkan dana Rp 1,5 milyar. Uang sebesar itu digunakan untuk pembangunan kapal, kelengkapan alat tangkap, serta modal awal bagi kelompok nelayan untuk membeli bahan bakar minyak, dan perbekalan melaut.
Jika modal awal masih belum mencukupi, para nelayan juga dibolehkan bermitra dengan pemodal, dengan pola bagi hasil tangkapan. Lewat program ini, pemerintah berharap, produksi perikanan tangkap nasional meningkat.
Sayangnya, harapan itu kandas begitu kapal yang diharapkan datang. Pertengahan 2012, kelompok Dahli menerima kapal Inka Mina bernomor lambung 64 dengan bobot 35 GT dan alat tangkap berupa jaring pukat cincin (purse sein).
Meski sekilas terlihat bagus, setelah diteliti, ternyata kapal itu tidak seperti yang diharapkan. "Bahannya dari kayu sembarang saja seperti kayu cempedak," kata Dahli. Padahal, kayu untuk bahan kapal seharusnya menggunakan kayu ulin, meranti, atau bengkirai.
Akibatnya, baru sebulan beroperasi, kapal itu langsung "porak-poranda". Tiang kayu penyangga katrol jaring penangkap ikan patah saat dipakai mengangkat ikan. Belum lagi kualitas jaring yang dipakai payah sehingga baru sekali dipakai sudah rusak di sana-sini.
"Cepat koyak jaring-jaring pukat ikan itu. Sehingga harus tambal sulam tiap jaring usai digunakan supaya ikan tidak lari saat dijaring," tutur Dahli. Kini kapal itu mangkrak di dermaga, dipakai untuk tempat duduk-duduk dan memancing.
Dahli dan para nelayan di kelompoknya jelas jengkel. Sebab, untuk bisa mendapatkan bantuan kapal itu, mereka harus melewati tahap seleksi yang ketat. "Harus diverifikasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan di Tanjung Balai, baru dilanjutkan ke Dinas Kelautan dan Perairan di Provinsi Sumatera Utara," ujarnya.
Dahli menaksir, harga kapal itu tidak mencapai Rp 1,5 milyar seperti yang dijanjikan. "Dengan kualitas seperti ini, harganya paling Rp 300 juta," katanya.
Rupanya nasib nahas penerima bantuan kapal 30 GT dari KKP itu bukan hanya dialami kelompok Dahli. Hafizal, dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Bina Nelayan Belawan, bernasib serupa. "Sejak awal mendapat kapal, sudah ada komplain dari kelompok kami soal kualitas kayu," tuturnya. Mesin kapal, yang memakai mesin Yuchai buatan Cina, juga bermasalah.
Selain tidak familier, para nelayan pun kerepotan menjaga agar mesin tetap dingin dan tidak ngadat di tengah laut. Satu-satunya pelipur lara bagi nelayan adalah alat komunikasi yang masih bagus, "Alat radio untuk berkomunikasi masih oke," ujarnya.
Alhasil, kapal Inka Mina bernomor lambung 56 itu tak pernah melakukan "debut" melaut sama sekali sejak diserahterimakan. Bahkan, saking lamanya mangkrak di dermaga, kapal itu pernah karam. Menurut seorang nelayan, kapal itu buru-buru diperbaiki oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara begitu tahu ada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang datang melakukan audit ke sana.
Berdasarkan dokumen yang diterima GATRA, untuk wilayah Sumatera Utara, kapal Inka Mina yang dialokasikan mencapai 16 kapal. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, O.K. Zulkarnain, mengatakan bahwa dari jumlah itu, lima unit kapal telah diserahkan pada 2012. "Tahun ini targetnya 11 kapal," katanya. Soal banyaknya kapal yang berkualitas rendah dan tak laik layar, ia mengatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab pembuat kapal.
Zulkarnain mengatakan, untuk pembangunan kapal, spesifikasi dan berbagai hal lain, seperti penyediaan jaring, jenis kayu, ukuran kapal, dan mesin, sudah ada ketentuannya. "Dituangkanlah itu dalam surat kepada konsultan perencanaan. Sudah tentu ahlinya," ungkap dia. Zulkarnain menduga, banyak pemenang tender yang nakal mengganti speks dengan bahan baku yang lebih murah untuk meraup keuntungan. "Tapi itu dugaan saya saja," ujarnya.
Nelayan Indramayu, Jawa Barat, punya pengalaman tersendiri juga. Di wilayah Indramayu, kapal-kapal Inka Mina bukannya melaut, malah dipermak habis oleh para nelayan agar layak dipakai melaut. Saat GATRA berkunjung ke Pelabuhan Karangsong, Indramayu, beberapa nelayan sedang sibuk "mendandani" beberapa kapal Inka Mina yang tengah bersandar.
Di kapal Inka Mina 358, misalnya, empat anak buah kapal sedang sibuk merapikan cat lambung kapal. Dua orang lainnya merakit alat pembeku ikan (freezer). Lebih dari setahun kapal itu berada di Pelabuhan Karangsong tanpa melaut sama sekali. KUB Limbangan, sebagai penerima bantuan itu, masih harus bekerja ekstra memperbaiki berbagai kekurangan yang ada serta harus merogoh kocek tidak sedikit untuk membeli jaring dan memasang freezer.
Menurut Ono Surono, Ketua Koperasi Mina Sumitra, yang juga mendapat kapal bantuan, untuk membenahi bagian buritan kapal dan melengkapi jaring, biayanya bisa mencapai Rp 500 juta. Semua itu dilakukan agar kapal benar-benar laik layar dan bisa mendapat hasil maksimal.
Koperasi Mina Sumitra yang dipimpin Ono termasuk beruntung.
Sebab, ketika koperasi mendapat bantuan kapal Inka Mina 38, Ono ngotot agar kapal itu dibuat di Indramayu dengan tukang dan bahan baku disiapkan koperasi sendiri. Tujuannya, agar desainnya sesuai dengan yang diharapkan.
Bahkan Ono harus mengeluarkan biaya lebih agar performa Inka Mina untuk koperasinya lebih baik. Misalnya, pemerintah tidak menyebutkan spesifikasi jenis paku, tapi Ono ingin pakunya menggunakan bahan stainless. "Jadi, saya bisa jamin, enam tahun kapal itu tidak masuk galangan," ia menegaskan.
Berbeda dengan Inka Mina 121, 122, dan 123 yang tidak dibuat di Indramayu. desainnya tak sesuai dengan kearifan lokal dan kebiasaan nelayan Indramayu dalam menangkap ikan. Kapal Indramayu, kata Ono, cenderung berbentuk ramping dengan lambung membentuk huruf "U".
"Sebab, ketika menarik jaring, kapal cenderung diam sehingga keseimbangan terjaga," kata Ono.
Ketidaksesuaian desain dengan kearifan lokal dan kebiasaan setempat itu terjadi karena kapal tidak diproduksi di galangan tempat kapal akan diserahkan. Kapal untuk Indramayu, misalnya, dibuat di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Bentuk lambung kapal di Batang, kata Ono, cenderung "V" untuk meningkatkan kecepatan kapal.
Secara umum, kapal-kapal Inka Mina memang tidak dibuat di wilayah tempat kapal akan diterimakan. Kapal-kapal untuk wilayah Jambi, misalnya, di buat di Jakarta. Bahkan kapal untuk Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ada yang dibuat nun jauh di ujung timur Pulau Jawa, persisnya di Banyuwangi, Jawa Timur. Atau kapal untuk Maluku dibuat di galangan kapal di Banten.
Alhasil, banyak bentuk kapal yang tidak sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat dan perlu dirombak. Inilah yang membuat banyak kelompok nelayan akhirnya harus "bantingan" membenahi kapal. "Banyak yang sampai terjerat utang ratusan juta rupiah," kata seorang nelayan yang enggan disebut namanya.
Di sisi lain, dengan kualitas kapal yang tidak bisa diandalkan, banyak kelompok nelayan yang kesulitan menggandeng investor. "Banyak yang takut tekor duluan, mana mau investasi di situ," kata sang nelayan lagi.
Alhasil, seperti di Indramayu, banyak kapal yang akhirnya dibiarkan mangkrak begitu saja. Di pelabuhan, kapal Inka Mina 121, 122, dan 123 masih terbungkus terpal dan tak pernah beroperasi. Hanya kapal Inka Mina 357, 358, dan 359 yang bisa berlayar karena dibuat di Indramayu.
***
Cerita suram proyek Inka Mina ini makin lengkap dengan munculnya berbagai kasus di beberapa daerah lain. Kapal Inka Mina 108 di Lampung Barat, yang merupakan proyek pengadaan tahun 2011, misalnya, bernasib nahas lantaran mesinnya cepat panas, terbakar, dan akhirnya tenggelam dalam operasi penangkapan ikan, akhir tahun 2012. Kapal Inka Mina 11 di Buleleng, Bali, yang dibuat pada 2010, karam akibat membentur karang pada Juni 2012. Ditengarai, alat navigasi kapal ini tak berfungsi baik.
Dari rencana pengadaan 1.000 kapal sampai tahun 2014, jumlah yang terealisasi sampai tahun lalu baru mencapai 452 kapal. Dari jumlah itu, yang beroperasi baru 215 unit. Sisanya, 237 unit, masih mangkrak di berbagai daerah karena rusak, peralatan tak lengkap, sampai soal izin yang belum keluar.
Dugaan adanya mark-up dalam pembuatan kapal-kapal bantuan presiden untuk nelayan itu pun merebak. DPRD Kota Medan, misalnya, menyebut biaya produksi kapal-kapal Inka Mina 56 dan 57 diperkirakan hanya Rp 700 juta. "Padahal, anggaran sebenarnya mencapai Rp 3 milyar. Kami menduga telah terjadi mark-up di sana. Karena itu, instansi terkait kami minta segera melakukan audit,'' kata Sekretaris Komisi D DPRD Medan, Muslim Maksum.
Taksiran biaya itu, menurut Muslim, didasarkan pada hasil temuan lapangan oleh pihak DPRD. Selain jenis kayu yang merupakan kayu sembarang, cat kayu dan tali aktrol yang terbuat dari besi stainless biasa juga tidak sesuai dengan standar. "Bahka, bahan peralatan kapal, seperti lampu dan mesin kapal, tidak memadai dan sangat diragukan kualitasnya," ujarnya.
Dugaan mark-up juga terjadi pada pembuatan kapal Inka Mina 48 di Sorong,
Papua Barat. Kapal yang dibuat dengan biaya Rp 1,5 milyar itu, sejak diserahterimakan kepada nelayan dari Himpunan Kelompok Nelayan Tradisional Kota Sorong tahun 2010, tak pernah dipakai melaut dan hanya menjadi pajangan di dermaga Pelabuhan Rakyat Kota Sorong.
Oleh para nelayan, kapal itu dinilai tidak laik laut lantaran konstruksi fiberglass kapal itu tipis, sehingga rentan pecah jika dihantam ombak. Selain itu, peralatan navigasi/komunikasi dan kondisi mesin (diduga mesin bekas) tidak cocok dengan bodi kapal.
Penilaian ini sesuai dengan penilaian Kabid Kelaik Lautan Kapal Adpel Sorong, Sahertian Marthin, setelah pelaksanaan pemeriksaan alat navigasi, teknis, radio, dan kontruksi kapal tersebut pada 19 April 2012.
Kasus itu sedang diselidiki Kejaksaan Negeri Sorong. Diduga, harga riil pembuatan kapal tersebut hanya Rp 200 juta, sehingga kualitasnya sangat minim. Sedangkan sisa anggaran yang mencapai Rp 1,3 milyar diduga menjadi bancakan berbagai pihak.
Di Provinsi Banten, Kejaksaan Tinggi Banten juga sedang menyelidiki dugaan mark-up atas pengadaan beberapa unit Inka Mina tahun 2010-2011, yang diduga merugikan negara Rp 10,4 milyar. Dari hasil pemeriksaan fisik terhadap beberapa kapal, salah satunya Inka Mina 135 oleh tim ahli dari Kementerian Perhubungan, ditemukan beberapa fasilitas kapal memang tidak sesuai dengan dokumen kontrak.
Selain bahan kapal, peralatan radio dan navigasi serta peralatan tangkap, ketidaksesuaian juga terjadi pada alat penyelamatan. Jaket pelampung pada kapal, misalnya, hanya terbuat dari bahan styrofoam.
Dari sekian banyak kasus, yang telah masuk pengadilan adalah dugaan mark-up pengadaan tujuh unit kapal Inka Mina untuk wilayah Cilacap dan Kebumen, Jawa Tengah. Kasus ini bermula dari temuan potensi kerugian negara pada proyek ini oleh BPK sebesar Rp 12,6 milyar.
Kasus ini menyeret Bambang Santoso, kuasa pengguna anggaran perikanan tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah, dan Sunar Wibowo, Direktur PT Marintek, yang memenangkan tender pengadaan tersebut, sebagai tersangka.
Marintek memenangkan kontrak senilai Rp 10,9 milyar untuk pengadaan kapal itu pada 2011. Dalam perjalanannya, saat tenggat penyerahan habis, proyek itu baru kelar 90%. Namun pihak dinas malah menandatangani dokumen pembayaran seolah-olah pekerjaan sudah selesai 100% dan Marintek menerima pembayaran penuh.
Padahal, ada proyek yang belum dikerjakan, yakni fishing trail senilai Rp 168 juta dan dokumen kapal Rp 175 juta. Marintek juga tidak membayar denda keterlambatan proyek selama 18 hari, sebesar Rp 196,9 juta.
BPK memang telah menurunkan tim untuk mengaudit pengadaan kapal Inka Mina itu di beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Papua Barat. Hasil temuannya beragam, dari adanya dugaan mark-up hingga proyek fiktif (seperti ditemukan di Maluku yang mengakibatkan negara berpotensi dirugikan Rp 795 juta).
Selain itu, ditemukan potensi kelebihan pembayaran dalam proyek Inka Mina, sehingga negara juga berpotensi dirugikan Rp 849 juta. Ada pula temuan kerugian negara Rp 1,03 milyar karena tidak ditagihnya denda keterlambatan pekerjaan kapal Inka Mina.
Sumber GATRA di lingkungan KKP menyebutkan, timbulnya potensi kerugian negara yang cukup besar dalam proyek ini sebenarnya tidak lepas dari lemahnya pengendalian yang dilakukan KKP sendiri. Dalam kasus-kasus itu, pihak KKP seperti menimpakan kesalahan kepada pihak dinas di daerah.
"Lho, iya dong, mereka yang tanggung jawab. Sekarang, kalau ada masalah, kami yang balik tanya. Eh, kami sudah kasih anggaran, kok kalian begini? Itu tanggung jawab kalian," kata Menteri KKP, Syarif Cicip Sutardjo, saat ditanya GATRA soal banyaknya penyimpangan dalam proyek Inka Mina ini.
Nyatanya, kata sumber itu, pihak pusat tidak bisa lepas tangan soal ini. Soal anggaran, misalnya, ada dugaan pihak dinas di daerah tidak sepenuhnya menerima alokasi Rp 1,5 milyar untuk tiap unit kapal. Kasus yang terjadi di Sumatera Utara dan Sorong, misalnya, mengindikasikan hal itu.
Untuk Sorong, diduga pihak dinas hanya menerima dana Rp 200 juta, sehingga kapal dibuat sesuai dengan harga itu. "Itu sesuai dengan pesanan pihak dinas setempat. Pemenang tender hanya mengerjakan sesuai dengan pesanan," kata sumber itu. Demikian pula di Sumatera Utara. Diduga, dana yang dikucurkan tidak penuh, yaitu hanya Rp 300 juta-Rp 700 juta per kapal.
Dalam proyek ini juga ada indikasi pemborosan dan aroma KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), kapal untuk provinsi tertentu justru dibuat di provinsi lain. "Ada indikasi KKN tempat galangan yang ditunjuk sesuai dengan kepentingan pihak dinas," katanya. Salah satunya adalah galangan kapal yang digunakan untuk membuat kapal Inka Mina 311, 312, dan 313 untuk Kabupaten
Tanjung Jabung, Jambi. Dari dokumen yang diterima GATRA, pemenang tender pembuatan tiga unit kapal itu adalah PT Fibrit Fiberglass, yang beralamat di Jalan Tanjung Sanyang Nomor 5-6, Cawang, Jakarta Timur.
Saat wartawan GATRA Sya'bani Takdir mengecek ke alamat itu, ternyata yang didapati adalah perusahaan yang bergerak di bidang jual-beli bahan fiberglass. Perusahaan itu terletak di ujung jalan buntu di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati satu unit mobil. Meski kecil, perusahaan itu ternyata punya riwayat kerja sama dengan beberapa kementerian.
Pada 2009, perusahaan tersebut pernah mendapat tender dari Kementerian Perhubungan untuk pembuatan kapal patroli. Sayangnya, kerja sama itu berujung kasus lantaran diduga ada unsur KKN. Untuk memuluskan proyek itu, PT Fibrite Fiberglass ketahuan memberikan uang pelicin Rp 300 juta kepada pejabat Kementerian Perhubungan.
Selain itu, indikasi KKN cukup kuat dalam pengadaan barang untuk keperluan kapal, khususnya mesin. Untuk urusan mesin, merek Yuchai buatan Cina yang digunakan di beberapa kapal Inka Mina dinilai tak berkualitas. Banyak keluhan nelayan soal mesin ini karena mudah panas dan kerap ngadat. Sumber itu menyebutkan, dealer mesin ini, PT Indo Yuchai Machinery, dimiliki kerabat mantan petinggi KKP. "Makanya bisa menang tender, meski mesinnya tak berkualitas," kata sumber itu.
Soal menang tender pengadaan mesin kapal Inka Mina, pihak Indo Yuchai Machinery mengakuinya. Semmy dari bagian marketing PT Indo Yuchai Machinery mengatakan, perusahaannya memang mendapat tender pengadaan mesin untuk kapal-kapal Inka Mina.
Tetapi ia membantah itu karena KKN. "Tender dilakukan oleh tiap provinsi dan kabupaten/kota. Pihak kami hanya menyediakan surat dukungan sebagai syarat untuk mendapatkan mesin kapal untuk perusahaan pelayaran yang meminta," kata Semmy kepada Umaya Khusniah dari GATRA.
Mesin yang sering digunakan di kapal Inka Mina berjenis YC6A170C untuk kapal dengan ukuran 30 GT. Mesin seharga Rp 25 juta itu, kata Semmy, layak pakai dan tidak bermasalah.
"Bila dalam perjalanannya mesin mengalami kerusakan, perusahaannya juga menyediakan sparepart aslinya," tutur Semmy. Soal klaim mesin itu boros dan sering ngadat, menurut dia, itu terjadi karena ada oknum penguasaha kapal yang nakal tidak menggunakan mesin secara utuh. "Beberapa bagian mesin diambil dari mesin lain," katanya.
Semmy juga membantah tudingan bahwa perusahaan itu dimiliki kerabat petinggi KKP. "Ini yang punya orang Cina Semarang," ungkapnya. Soal kerja sama, Semmy bilang, perusahaan yang berdiri 10 tahun itu sering menang tender di kementerian dan lembaga pemerintah. Selain KKP, ada juga Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai, polisi air, Kemenkominfo, dan Kementerian Perhubungan.
***
Pihak KKP sendiri mengakui bahwa pelaksanaan proyek ini perlu dibenahi di sana-sini. Kepada GATRA, Direktur Kapal Perikanan dan Penangkap Ikan, Muhammad Zaini, mengatakan bahwa pihaknya sudah membenahi pedoman pembangunan kapal Inka Mina untuk tahun 2013. Salah satunya, penetapan kelompok usaha bersama (KUB) nelayan yang akan menerima bantuan. KUB ini akan ikut mengawasi pembangunan kapal.
KUB akan menentukan apakah kapal akan dibangun dengan bahan fiber atau kayu. Jenis fiber-nya pun ditentukan oleh KKP, yaitu marine fibreglass, serta kayu jenis awet I-II dan kelas kuat I-II. Termasuk kayu jenis itu adalah merbau, bengkirai, dan keranji. Mesin juga ditetapkan harus mesin laut baru, bukan modifikasi, yang memiliki jaminan purnajual minimal satu tahun serta ketersediaan suku cadang selama lima tahun.
Untuk menjamin kesiapan KUB menerima kapal dan beroperasi, pihak KKP menginstruksikan pula agar biaya melaut dicantumkan dalam kontrak. "Biaya melaut harus diberikan melalui cash. Kalau di kontrak Rp 30 juta, ya, kami kasih segitu. Kami masukkan itu di biaya fishing trial. Jadi, sekaligus digunakan untuk modal awal supaya tidak ada kendala lagi untuk memulai usaha," kata Zaini.
Ia juga membantah tudingan bahwa dalam proyek ini terjadi banyak penyimpangan anggaran dan mark-up. "Hasil temuan BPK, sangat sedikit yang ditemui karena penyimpangan speks. Yang ada adalah keterlambatan pengiriman atau surat izin melaut," ujar Zaini.
Ia menilai, meskipun ada kekurangan, tujuan program ini mulia. Karena itu, pelaksanaannya harus terus didorong. "Program Inka Mina ini, saya berharap, tidak muluk-muluk, 70% saja keberhasilannya. Saya katakan berhasil kalau nelayannya mendapat penghasilan per bulan minimal Rp 2,5 juta. Itu target saya," katanya.
***
Sumber: Gatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar