Jumat, 07 Januari 2011

Bank Indonesia Mengakui Tekanan Inflasi

AS Masuki Resesi

Pemulihan Ekonomi 2011 Lebih Lambat

OLEH: TUTUT HERLINA/ DANANG J MURDONO



Jakarta – "kba-GALANG"

Pemulihan ekonomi tahun 2010 lebih lambat dari yang diprediksikan karena persoalan struktural yang dihadapi negara maju belum mampu diatasi. Pada 2011 ini, situasi ekonomi masih tetap sama, bahkan sejumlah prediksi menyebut pemulihan ekonomi pada tahun ini akan lebih lambat.


Prediksi ini dilatarbelakangi banyak investor yang mulai memindahkan portofolio dari saham menjadi surat utang karena ketidakpastian ekonomi. Selain itu, data Bank Sentral Amerika Serikat (AS) memprediksikan negara adidaya itu akan memasuki resesi beberapa tahun yang akan datang.


Hal tersebut dikemukakan Ketua DPR Marzuki Alie dalam acara seminar berjudul “Prospek Ekonomi Dunia Tahun 2011 dan Model Bisnis Baru” di Jakarta, Rabu (5/1) malam. Acara itu menghadirkan pembicara tunggal Profesor Ekonomi Lin Wei Xhien. Acara itu diselenggarakan Perhimpunan Alumni Universitas Tsinghua Indonesia (PERTI), Perhimpunan Indo­nesia Tionghoa (INTI) dan Indonesia Shangbao. “Prospek 2011 tidak akan jauh beda. Kebijakan fiskal dan utang negara maju masih berlanjut pada 2011,” katanya.


Mantan Duta Besar RI untuk Republik Rakyat China (RRC) Sudrajat mengatakan, persoalan perang mata uang antara dolar AS dengan yuan China akan memberikan dampak besar pada 2011 ini. Apalagi, AS telah mencetak uang senilai US$ 600 miliar. Selain itu, perubahan iklim akan menjadi isu pokok.


“Bagaimana pressure AS terhadap China mari kita lihat. Suatu battle financial ini akan membawa akibat pada ekonomi yang akan datang,” kata Sudrajat.
Sementara itu, Lin Wei Xhien mengatakan, pada tahun 2011, perekonomian China te­tap akan terus tumbuh, se­dang­kan Eropa dan AS masih butuh waktu untuk pulih. Investasi maupun perdagangan ke depan akan berlomba-lom­ba masuk ke China. Selain ekonominya yang sedang tumbuh, China juga memiliki 1,4 miliar penduduk yang kehidupannya lebih sejahtera dibandingkan 20 tahun lalu. Peng­hasilan buruh saat ini juga lebih tinggi.


Ia menjelaskan, dua puluh tahunan lalu, produk-produk bagus China hanya bisa dikonsumsi oleh pasar AS dan Eropa.

Namun, saat ini produk-produk tersebut sudah kembali ke dalam negeri dan dikonsumsi oleh pasar domestik China. Dengan kondisi seperti itu, ekonomi China akan menjadi nomor satu di Asia. Hanya China menginginkan Asia juga harus bisa berdiri bersama dalam kemajuan ekonomi itu. Untuk merealisasikannya, China memberikan banyak bantuan ke negara-negara Asia Tenggara dan kebijakan itu terus berlanjut hingga masa-masa yang akan datang.


Ia menyarankan, negara-negara termasuk Indonesia mempunyai nilai unggulan terhadap produk-produk yang dipasarkan. “Tidak bisa hanya membuat sepeda saja. Kalau hanya membuat sepeda kalian semua akan kalah dengan China. Kalian harus punya nilai unggulan,” katanya.


Marzuki Alie seusai acara menambahkan, sejumlah pengusaha Indonesia sudah mulai cerdik melihat potensi pasar China. Mereka kini mulai mengambil manfaat dengan memasarkan berbagai produk unggulannya ke negara itu. Namun diakui, pemerintah masih belum memanfaatkan potensi besar itu. Padahal, sumber daya alam Indonesia luar biasa. Sebaliknya, reformasi birokrasi yang diperlukan untuk memperbaiki perekonomian belum berjalan maksimal. “Padahal, itu yang menghambat,” ujarnya.

Inflasi Tinggi
Sebelumnya, otoritas Bank Indonesia mengakui tekanan inflasi yang berpotensi meningkat di tahun 2011 akan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.
BI melihat tekanan inflasi berasal dari terganggunya pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok (volatile foods) dan kemungkinan penyesuaian harga yang ditetapkan pemerintah (administered prices), di samping kenaikan permintaan dan harga komoditas internasional.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka perdagangan saham awal 2011 di Bursa Efek Indonesia, Senin (3/1), secara khusus menyoroti soal kenaikan harga minyak dan pangan dunia yang terjadi belakangan ini. Ia meyakini keduanya bisa menjadi faktor yang bisa mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi 2011.


Pada 2010, tingginya tekanan inflasi juga lebih disebabkan kenaikan harga kelompok volatile foods. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi IHK selama Desember 2010 mencapai 0,92 persen atau 6,96 persen (year on year). Angka realisasi inflasi IHK tersebut lebih tinggi dari target inflasi yang ditetapkan pemerintah, yakni 5 persen plus minus 1 persen.
Gubernur BI Darmin Nasution dalam konferensi pers, Rabu (5/1), menilai perlunya koordinasi kebijakan BI dan pemerintah ditingkatkan terutama untuk memperkuat respons sisi suplai di tengah kecenderungan meningkatnya aktivitas ekonomi ke depan agar tidak menimbulkan tekanan inflasi.


Darmin berpandangan kenaikan ekspektasi inflasi akan dapat diminimalkan apabila dilakukan peningkatan efektivitas produksi, distribusi, dan ketersediaan bahan pokok di tingkat nasional dan daerah.
“Dalam konteks ini, kerja sama dengan pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat (TPI) maupun daerah (TPID) perlu terus diperkuat dengan mempertajam program-program untuk meningkatkan sisi pasokan dan perbaikan distribusi,” katanya.


Risiko lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah terkait masih tingginya aliran modal masuk di tengah ekses likuiditas yang masih cukup besar. Menurut Darmin, BI akan terus memperkuat penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial. sp.online,(faisal rachman)-//kba-galang'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar